KONDISI JALAN RUSAK DI DESA
SINDANGSARI
Makalah Ini Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu
pada Mata Kuliah Otonomi Daerah
PRODI
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
GALUH
CIAMIS
2011
KATA
PENGANTAR
Assalmu’alaikum WR.WB
Puji dan syukur saya
panjatknan kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat
menyelesaikan Tugas Mata Kuliah OTONOMI DAERAH ini. Shalawat dan salam saya
panjatkan kepada junjunaan alam semesta yaitu Nabi besar Muhammad SAW, kepada
sahabat – sahabatnya dan sampai pada kita sebagai umat-Nya
Saya ucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang terlibat atas pembuatannya makalah ini,
buat sahabat – sahabat saya, terutama buat kedua orang tua saya yang selalu
memberikan motifasi yang sangat luar biasa yang bisa buat saya semua lebih giat
untuk belajar, buat dosen – dosen terutama buat Yth. Bpk. Supri Yang telah
memberikan begitu banyak pelajaran dalam mata kuliah Otonomi Daerah ini .
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Otonomi Derah. Yang saya
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Dan penuh dengan kesabaran
terutama pertolongan dari Allah SWT. Akhirnya makalah ini dapat saya
selesaikan.
Saya menyadari
sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan saya, karna saya masih dalam
tahap pembelajaran. saya sangat berharap makalah ini bermanfaat bagi saya
pribadi khususnya bagi semua pihak
pada umumnya. Apabila ada keritik dan
saran yang bersifat membangun terciptanya makalah ini saya terima dengan lapang dada.
Wassalamu’alaikum
WR.WB
Ciamis, Oktober 2011
Penyusun.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
........................................................ i
DAFTAR ISI
................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
................................................... 2
A. Latar Belakang Masalah
......................................
2
B. Identifikasi Masalah
............................................
5
BAB II TINJAUAN TEORI
............................................... 7
A. Sejarah Perkembangan OTDA di Indonesia
........... 7
B. Definisi Otonomi Daerah
......................................
11
BAB III PEMBAHASAN
................................................... 13
A. Tata Kelola Desa
.................................................
B. Arah Pemberdayaan
............................................
13
C. Indikator Keberhasialan
.......................................
14
D. Tahap Pelaksanaan Pembangunan
........................ 15
E. Konsef Penyelenggaraan Pemerintah
yang Efektif
......................................................... 15
BAB IV
PENUTUP............................................................. 16
A. Kesimpulan ......................................................... 16
B. Saran
.................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
.......................................................... 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usaha pembangunan
daerah, desa dan kota terus ditingkat-kan dan diarahkan pada pencapaian tujuan
untuk makin memeratakan pembangunan, makin memantapkan pewujudan Wawasan
Nusantara, dan makin mewujudkan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab.
Dalam rangka itu pembangunan daerah, desa dan kota dilaksanakan dengan tujuan
menyerasikan laju pertumbuhan daerah yang satu dengan daerah yang lain dan
antara pertumbuhan daerah pedesaan dan perkotaan, menyerasikan keseluruhan
pembangunan di setiap daerah dengan prioritas dan potensi daerah masing-masing,
meningkatkan kemampuan berprakarsa dan berpartisipasi masyarakat dan Pemerintah
Daerah dalam membangun dan mendorong pertumbuhannya, dan mempercepat
peningkatan kemampuan daerah-daerah tertentu yang masih menghadapi berbagai
hambatan untuk berkembang.
Perkembangan sebuah
ilmu sangat ditentukan oleh kemampuannya menjawab berbagai masalah-masalah
sosial dan alam yang menjadi bidang garapannya. Semakin fungsional sebuah ilmu
dalam arti mampu menjalankan sekurang-kurangnya lima fungsi utama ilmu akan
semakin banyak pendukungnya. Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong
semakin banyak orang yang mempelajari dan menghasilkan teori maupun konsep
baru. Sebaliknya, apabila sebuah ilmu tidak fungsional dalam menjawab kebutuhan
masyarakat, maka ilmu tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akhirnya
akan mati.
Kemampuan suatu ilmu
untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan sangat tergantung pada
epistemologinya, karena salah satu hal yang membedakan antara ilmu satu dengan
ilmu lainnya adalah dari segi metodologinya.
Demikian juga halnya
dengan Ilmu Pemerintahan. Dari berbagai literature dapat lihat bahwa bahwa
pemerintahan disamping sebagai sebuah pengetahuan (knowledge) adalah sekaligus
juga meruapakan sebuah kemahiran (know-how). Karena itu Ilmu Pemerintahan
diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan manusia, termasuk
dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini.
Gelombang perubahan
yang melanda Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan orde baru, membuka wacana
dan gerakan baru diseluruh aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam
dunia pemerintahan. Semangat yang menyala-nyala untuk melakukan reformasi,
bahkan cennderung melahirkan euphoria, memberikan energi yang luar biasa bagi
bangkintya kembali wacana otonomi daerah, setelah hampir sepertiga abad
ditenggelamkan oleh rezim otoritarian orde baru dengan politik stick and
carrot-nya. Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian
otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. menyatakan bahwa tuntutan
seperti itu adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi
pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah
rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses
pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah, Kedua, tuntutan pemberian
otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang
membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah
perkembangannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengikuti pola seperti
pada bandul jam yaitu beredar antara sangat sentralistik dan sangat
desentarlistik. Apabila kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistik maka
bandulnya akan ditarik kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik
demikian pula sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti perkembangan
pelaksanaan otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya mulai dari UU nomor 1 tahun 1945 sampai dengan UU Nomor 22 tahun
1999.
Otonomi Daerah di
Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan.
Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama,
tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada
tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi,
yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan
sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan
serta murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni meningkatnya taraf
kesejahteraan masyarakat.
Otonomi berasal dari
dua kata : auto berarti sendiri, nomos berarti rumah tangga atau urusan
pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri.
Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah “mengurus
rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan
mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Berdasarkan Keputusan
Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Dan
Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi menjadi dasar pengelolaan semua potensi
daerah yang ada dan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh daerah yang
mendapatkan hak otonomi dari daerah pusat. Kesempatan ini sangat menguntungkan
bagi daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang besar untuk dapat mengelola
daerah sendiri secara mandiri, dengan peraturan pemerintah yang dulunya
mengalokasikan hasil hasil daerah 75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikan
kedaerah membuat daerah-daerah baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit
untuk mengembangkan potensi daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya dan
pariwisata.
Dengan adanya otonami
daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingakat II mampu mengelola daerahnya
sendiri. Untuk kepentingan rakyat demi untuk meningkatkan dan mensejahtrakan
rakyat secara sosial ekonomi.
B. Identifikasi
Masalah
Pembangunan desa dalam
jangka panjang ditujukan untuk memperkuat dasar-dasar sosial ekonomi pedesaan
yang memiliki hubungan fungsional yang kuat dan mendasar dengan kota-kota dan
wilayah di sekitarnya. Pembangunan desa dan pembangunan sektor yang lain di
setiap pedesaan akan mempercepat pertumbuhan desa menjadi desa swasembada yang
memiliki ketahanan di segala bidang dan dengan demikian dapat mendukung
pemantapan ketahanan nasional.
Dalam rangka mencapai
tujuan itu pembangunan desa diarahkan untuk mengembangkan sumber daya
manusianya yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia, dengan
meningkatkan kualitas hidup, kemampuan, keterampilan dan prakarsanya, dalam
memanfaatkan berbagai potensi desa maupun peluang yang ada untuk berkembang.
Oleh karena itu pembangunan desa merupakan bagian yang penting dan tidak
terpisahkan dari pembangunan nasional.
Sesuai dengan arah
kebijaksanaan tersebut, telah ditetapkan berbagai program bantuan yaitu
berupa: bantuan Pembangunan Desa; pemantapan dan pembinaan Unit Daerah Kerja
Pembangunan (UDKP); peningkatan prakarsa dan swadaya masyarakat; pemukiman
kembali penduduk; bantuan pemugaran perumahan dan lingkungan; perlombaan dan
evaluasi tingkat perkembangan desa.
Yang di hadapi salah
satu Desa di Kecamatan Cimerak yang tepatnya di Desa Sindangsari Kabupaten
Ciamis ini mengalami kerusakan jalan yang sangat parah dari sepanjang jalan
Kecamatan Cijulang sampai ke Kecamatan Cimerak, ini mengakibatkan polusi yang
di akibatnya debu dari jalan yang rusak tersebut menyebar luas ke rumah – rumah
di sekitar tempat itu, hal ini dikatakan karena rumah tersebut kusam seperti
terkubur debu.
Jalan yang rusak di
daerah Sindangsari pun mengalami kerusakan karena banyaknya mobil – mobil besar
melintas, dana yang di butuhkan untuk perbaikan jalan tersebut untuk sepanjal
jalan Dusun Cikembang membutuhkan sekitar Rp. 200.000.000,-. Sedangkan dana
pembangunan jalan di Dusun Cisodong RT/RW 05/02 Ciirateun itu hasil dari
suadaya Masyarakat sekitar Rp. 5.000.000,-
1. Nama Desa : Desa Sindangsari
2. Kecamatan : Cimerak
3. Luas Wilayah : 1.557 Hektar
4. Jumlah Dusun / RT / RW : a. Jumlah dusun : 6
b. Jumlah RW : 10
c. Jumlah RT : 47
5. Jumlah Penduduk : a. Laki – laki : 2.448 Orang
b. Perempuan : 2.496 Orang
Jumlah : 4.944 Orang
6. Data Infrastuktur
a. Jalan
· Panjang Jalan Aspal : 8 Km
· Panjang jalan Tanah : 13 Km
· Panjang Jalan Makadam : 3 Km
b. Jembatan
· Jembatan beton : 1 unit
· Jembatan Kayu : - Unit
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di
Indonesia
· Warisan Kolonial
Pada tahun
1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang
dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian
staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada
tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922.
Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente,
dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu
juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat
(zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per
satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak
panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan
kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang
melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina,
sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan
kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah
Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun
berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda.
Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No.
27/1942 yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki
kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa
tersebut bersifat misleading.
Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di
keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu
oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing
dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
a) Provinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945
hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang
tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang
mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang
ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan
bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah
tangganya sendiri.
3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun
1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi
menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam
tiga tingkat, yaitu:
a) Daerah swatantra tingkat I, termasuk
kotapraja Jakarta Raya
b) Daerah swatantra tingkat II
c) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini
menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat
(1) UUDS 1950.
4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun
1959
Penpres No. 6 Tahun
1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan
dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru.
Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan
daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat
menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah
diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah
negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
a) Provinsi (tingkat I)
b) Kabupaten (tingkat II)
c) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah
pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik
polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah
pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang
diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah,
kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan
DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan
bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas
desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat
I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya
menjadi:
a) Provinsi/ibu kota Negara
b) Kabupaten/kotamadya
c) Kecamatan
Titik berat otonomi
daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan
langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini
mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan
desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib
menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam
kerangka NKRI.
b) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang
dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah
kota.
c) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah
otonomi.
d) Kecamatan merupakan perangkat daerah
kabupaten.
Secara umum, UU No. 22
tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU
ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat.
8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober
disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan
hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat
berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat
berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di
bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas
dan diperjelas.
B. Definisi Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah
suatu keadaan di mana setiap daerah memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan
daerahnya secara optimal, baik individu maupun kelompok masyarakat.
Individu otonom adalah
manusia yang diberi keleluasaan untuk memunculkan potensi yang dimilikinya
secara optimal. Dengan menyelenggarakan otonomi, segala persoalan diserahkan
kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkannya (dari,
oleh, dan untuk masyarakat daerah) kecuali untuk persoalan di mana daerah tidak
dapat menyelesaikan-nya sendiri dalam konteks keutuhan negara dan bangsa,
diserahkan kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikannya.
Dengan adanya
keberagaman dalam penerapan otonomi karena faktor perbedaan dalam interpretasi
konsep otonomi, kemampuan dan keunikan dari masing-masing daerah, serta
keterbatasan pemerintah pusat menyebabkan otonomi daerah dilaksanakan secara
gradual.
Penyelenggaraan otonomi
daerah menggunakan payung hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, meskipun belum sempurna dalam menjawab
aspirasi masyarakat daerah dan tuntutan daerah yang berbeda-beda. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 memuat tentang seberapa jauh peranan pemerintah pusat dalam
menangani persoalan daerah, dan seberapa jauh yang menjadi wewenang daerah.
Sampai saat ini, daerah diberi wewenang untuk menangani persoalan yang telah
ditanganinya dan lima kewenangan masih ditentukan di pusat, yaitu agama,
peradilan, pertahanan, keamanan, serta keuangan. Sedangkan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1999 memuat tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
C. Peran Pemerintah Desa
Sebagaimana dipaparkan
dalam UU No. 32 tahun 2004 bahwa di dalam desa terdapat tiga kategori
kelembagaan desa yang memiliki peranan dalam tata kelola desa, yaitu:
ü pemerintah desa,
ü Badan Permusyawaratan Desa, dan
ü Lembaga Kemasyarakatan.
Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat desa
(pemerintahan desa) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Pemerintahan desa ini dijalankan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan di negeri ini.
Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan
perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Kepala desa mempunyai
tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa mempunyai wewenang:
a) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD,
b) Mengajukan rancangan peraturan desa,
c) Menetapkan peraturan desa yang telah
mendapat persetujuan bersama BPD,
d) Menyusun dan mengajukan rancangan
peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD,
e) Membina kehidupan masyarakat desa,
f) Membina perekonomian desa,
g) Mengkoordinasikan pembangunan desa secara
partisipatif;
h) Mewakili desanya di dalam dan di luar
pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dan
i) Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Badan Permusyawaratan
Desa adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa
bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara
musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku
adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.
BPD berfungsi menetapkan
peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat. BPD mempunyai wewenang:
ü Membahas rancangan peraturan desa bersama
kepala desa;
ü Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan desa dan peraturan kepala desa;
ü Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
kepala desa;
ü Membentuk panitia pemilihan kepala desa;
ü Menggali,menampung, menghimpun, merumuskan
dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan
ü Menyusun tata tertib BPD.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Tata
Kelola Desa
Desa Sebagai salah satu
entitas pemerintahan paling rendah menjadi arena paling tepat bagi masyarakat
untuk mengaktualisasikan kepentingannya guna menjawab kebutuhan kolektif
masyarakat. Mengacu pada UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal
206 disebutkan bahwa kewenangan desa mencakup:
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada
berdasarkan hak asal usul desa,
b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada
desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
c. Tugas pembantuan dari pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota, tugas pembantuan dari
pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada
desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia.
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh
peraturan perundangan diserahkan kepada desa.
Melihat urusan
pemerintahan yang dapat dikelola oleh desa sebagaimana diuraikan diatas, maka
sesungguhnya desa memiliki kewenangan yang cukup luas. Kepala desa yang menurut
undang-undang tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kewenangan
dan legitimasi yang cukup kuat untuk membawa desa tersebut ke arah yang
dikehendakinya. Namun demikian, masih sedikit masyarakat desa yang sadar bahwa
potensi kewenangan ini harus diperjuangkan kejelasannya kepada pemerintah
daerah untuk menjadi kewenangan yang lebih terperinci dan dinaungi oleh
kebijakan pemerintah daerah yang cukup mengikat. Hal ini perlu dilakukan agar
desa tidak hanya menjadi ’tong sampah’ dari urusan-urusan yang tidak bisa
diselesaikan oleh pemerintah daerah.
B. Perencanan Pembangunan Desa
Dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangunan desa sebagai
satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota.
Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud disusun oleh pemerintahan
desa secara partisipatif dengan melibatkan seluruh masyarakat desa.
Perencanaan pembangunan
desa disusun secara berjangka meliputi:
ü Rencana pembangunan jangka menengah desa
yang selanjutnya disebut RPJMDes untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
ü Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya
disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dari RPJMDes untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun.
RPJMD ditetapkan dengan
peraturan desa dan RKP-Desa ditetapkan dalam keputusan kepala desa berpedoman
pada peraturan daerah. Perencanaan pembangunan desa selayaknya didasarkan pada
data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada
proyek-proyek pembangunan pedesaan yang dilakukan oleh pihak lain di luar
pemerintah desa (seperti REKOMPAK dengan Rencana Pembangunan Permukiman-nya),
maka dokumen-dokumen perencanaan pembangunan yang dihasilkan harus mengacu dan
atau terintegrasi dengan RPJM Desa atau RKP-Desa.
C. Arah Pemberdayaan
Semua pelaksanaan
program berdasar kan Visi “Mewujudkan kesadaran partisipasi masyarakat dalam
membangun yang berbasis potensi lokal untuk mencapai kemandirian dan
kesejahteraan” untuk mencapai keberhasilan setiap program diperlukan sasaran
yang jelas,
· Mendorong keterlibatan masyarakat dalam
setiap aspek pembangunan
Dengan semangat Otonomi
Daerah, keterlibatan masyarakat tidak lagi sebagai objek pembangunan, namun
lebih pada sebagai Stakeholder memiliki peranan penting dalam menentukan arah
kebijakan. Arah pemberdayaan lebih dikonsentrasikan pada upaya menumbuhkan
budaya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam setiap program
pembangunan. Apabila masyarakat memiliki tempat sebagai kelompok kepentingan
atas nasib bangsanya, peranan besar masyarakat akan sangat menentukan tingkat
keberhasilan masyarakat.
D. Indikator Keberhasialan
Untuk mencapai pelaksanaan program
yang optimal, perlu didorong oleh beberapa potensi yang kemudian dijadikan
indikator keberhasilan, adapun indikator keberhasilan yang dimaksud adalah :
a) Tersediannya Sumber Daya Manusia (SDM)
Kemungkinan kualitas dan kuantitas
Sumber Daya Manusia (DSM) yang merupakan potensi vital yang ada di suatu desa,
keberadaannya tidak diakui oleh masyarakat desanya bahkan Sumber Daya Manusia
(SDM) tersebut diberi cukup ruang di beri cukup ruang untuk bisa memberiakn
kontribusinya bagi kemajuan desanya.
b) Potensi sumber daya lokal
Ini merupakan upaya
pemberdayaan sgala potensi yang ada di desa dengan demikian perencanaan program
dengan pemetaan potensi yang ada adalah satu kesatuan yang saling mendukung.
c) Konsistensi pelaksanaan program
Persyaratan
terlaksananya program adalah konsistensi, konsistensi yang dimaksudkan
terlaksananya setiap fase program secara baik, karena program yang dibentuk
merupakan hasil perencanaan yang matang.
d) Adanya kesejahteraan dalam program
pemerintah
Berupa upaya bagaimana
menterjemahkan setiap program pembangunan yang dilakukan pemerintah kemudian
dikawal menjadi program yang benar- benar mencapai sasarannya.
e) Program kerja yang sistematis
Inplementasi program
kerja yang sistematis hal tersebut berdasarkan pada beberapa pertimbangan,
antara lain :
ü Penentuan skala prioritas
ü Langkah – langkah pencapaian program
f) Jaringan kerja kemitraan
Proses pemberdayaan
membutuhkan berbagai keahlian dan disiplin ilmu dalam rangka menujungjung
keberhasilannya.
g) Anggaran biaya yang memadai
Ketergantungan kepada
ketersediaan anggaran berdampak pada sikap pesimis masyarakat yang tidak mau
mencoba mengelok potensi yang ada menjadi suatu yang memberikan nilai ekonomis
tinggi. Hal ini perlu dalam melakukan suatu pembangunan untuk kemajuan sebuah
desa.
Sebagaimana diuraikan
dalam Penjelesan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa bahwa
landasan pemikiran pengaturan (tata kelola) mengenai desa yaitu:
1) Keanekaragaman,
Yang memiliki makna
bahwa istilah ’desa’ dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola penyelenggaraan pemerintahan
serta pelaksanaan pembangunan di desa harus menghormati sistem nilai yang
berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Partisipasi,
Memiliki makna bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran
aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta
bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga
desa.
3) Otonomi asli,
Memiliki makna bahwa
kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat
didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada
masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi
pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman.
4) Demokratisasi,
Memiliki makna bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus
mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra
pemerintah desa.
5) Pemberdayaan masyarakat,
Memiliki makna bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa ditujukan
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan
kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas
kebutuhan masyarakat.
E. Pelembagaan Partisipasi Masyarakat
Reformasi dan otonomi
daerah telah menjadi harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat desa untuk
membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi
sebagian besar aparat pemerintah desa, otonomi adalah satu peluang baru yang
dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa. Hal
itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan
program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat desa tanpa harus didikte oleh kepentingan pemerintah
daerah dan pusat. Sayangnya kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus.
Sebagai contoh, aspirasi desa yang disampaikan dalam proses musrenbang
senantiasa kalah dengan kepentingan pemerintah daerah (eksekutif dan
legislatif) dengan alasan bukan prioritas, pemerataan dan keterbatasan
anggaran.
Dari sisi masyarakat,
poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya
pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi yang
secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya
pembangunan desa. Dalam proses musrenbang, keberadaan delegasi masyarakat desa
dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah membuka
kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan mengawasi penentuan
kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul persoalan bahwa
keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi ‘kosmetik’ untuk sekedar
memenuhi ‘qouta’ adanya partisipasi masyarakat dalam proses musrenbang
sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.
Merujuk pada kondisi di
atas, tampaknya persoalan partisipasi masyarakat desa dalam proses pembangunan
di pedesaan harus diwadahi dalam kelembagaan yang jelas serta memiliki
legitimasi yang cukup kuat di mata masyarakat desa. Dalam UU No. 32 tahun 2004
sebenarnya telah dibuka ruang terkait pelembagaan partisipasi masyarakat desa
tersebut melalui pembentukan Lembaga Kemasyarakatan. Lembaga Kemasyarakatan
atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat
sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan
masyarakat. Lembaga kemasyarakatan mempunyai tugas membantu pemerintah desa dan
merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa. Pembentukan lembaga
kemasyarakatan ditetapkan dengan peraturan desa. Hubungan kerja antara lembaga
kemasyarakatan dengan pemerintahan desa bersifat kemitraan, konsultatif dan
koordinatif.
Tugas lembaga
kemasyarakatan meliputi:
· Menyusun rencana pembangunan secara
partisipatif,
· Melaksanakan, mengendalikan,
memanfaatkan, memelihara dan Mengembangkan pembangunan secara partisipatif,
· Menggerakkan dan mengembangkan
partisipasi, gotong royong dan swadaya masyarakat,
· Menumbuhkembangkan kondisi dinamis
masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Dalam melaksanakan
tugasnya, lembaga kemasyarakatan mempunyai fungsi:
· Penampungan dan penyaluran aspirasi
masyarakat dalam pembangunan,
· Penanaman dan pemupukan rasa persatuan
dan kesatuan masyarakat dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia,
· Peningkatan kualitas dan percepatan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat,
· Penyusunan rencana, pelaksanaan,
pelestarian, dan pengembangan hasil-hasil pembangunan secara partisipatif,
· Penumbuhkembangan dan penggerak prakarsa,
partisipasi, serta swadaya gotong royong masyarakat,
· Pemberdayaan dan peningkatan
kesejahteraan keluarga; dan
pemberdayaan hak
politik masyarakat.
F. Tahap Pelaksanaan Pembangunan
Pelaksanaan program
dimulai dari proses perencanaan sampai kepada bagaimana melakukan upaya tindak
lanjut programsetelah program pembinaan dilakukan.
Pembangunan yang akan
dilaksanakan di Desa Sindangsari, Dusun Cikembang sekarang ini membutuhkan dana
tunai sebesar Rp.200.000.000,-. Para perangkat desa sedah mempersiapkan
proposal untuk diajukan ke Pemerintah Daerah (Pemda) dan di ajukan ke Kantor
pusat karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (TPJMdes) Jangka 5
Tahun harus terlaksana.
Sedangkan pembangunan
jalan di Dusun Cisodong hanya mengandalakn dari hasil Suadaya masyarakat untuk
memperbaiki tanjakan yang sudah rusak parah hal ini tentu perlu adanya
keterlibatan masyarakat untuk proses pembangunan jalan tersebut, dan
partisipasi masyarakat sangat membantu berjalannya suatu pembangunan di desa.
G. Konsep Penyelenggaraan Pemerintah yang
Efektif
Pemahaman
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif adalah ketika suatu pemerintah dapat
dengan cepat dan tepat mencapai sasaran yang hendak dicapai. Apabila yang dijadikan
sasaran dan tujuan diselenggarakannya pemerintah adalah untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat, maka indicator peningkatan kesejahteraan itu apa saja,
dari setiap indicator berapa persen yang telah tercapai dan berapa peren yang
telah belum tercapai, sehingga jelas tolak ukur keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan secara kualitatif maupun kuantitatif.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari
pembahasan di atas adalah bahwa Yang di hadapi salah satu Desa di Kecamatan
Cimerak yang tepatnya di Desa Sindangsari Kabupaten Ciamis ini mengalami
kerusakan jalan yang sangat parah dari sepanjang jalan Kecamatan Cijulang
sampai ke Kecamatan Cimerak, ini mengakibatkan polusi yang di akibatnya debu
dari jalan yang rusak tersebut menyebar luas ke rumah – rumah di sekitar tempat
itu, hal ini mengkibatkan rumah tersebut kusam seperti terkubur debu.
Jalan yang rusak di
daerah Sindangsari pun mengalami kerusakan karena banyaknya mobil – mobil besar
melintas, dana yang di butuhkan untuk perbaikan jalan tersebut untuk sepanjang
jalan Dusun Cikembang membutuhkan sekitar Rp. 200.000.000,-. Sedangkan dana
pembangunan jalan poros Desa di Dusun Cisodong RT/RW 05/02 Ciirateun itu hasil
dari swadaya Masyarakat sekitar Rp.5.000.000,-
B. Saran
Saran saya untuk
kelangsungan pembangunan desa di desa Sindangsari, dalam Perencanaan
pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi:
ü Rencana pembangunan jangka menengah desa
disebut (RPJMDes) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
ü Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya
disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dari RPJMDes untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun.
Di gunakan
sebaik-baiknya oleh aparatur desa, seperti mendata bagian mana saja yang harus
ada perbaikan. Masyarakat juga ikut serta dalam pembangunan tersebut karena
semua pembangunan juga untuk masyarakat sekitar.
DAFTAR
PUSTAKA
- Thonthowi Djauhari Musaddad MA, 2007,
Pembangunan Pedesaan Mandiri, HUMANIORA UTAMA press, Bandung.
Posting Komentar