MAKALAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
KEBUDAYAAN
KRATON KESEPUHAN-CIREBON
A. Latar Belekang
Keraton Kasepuhan
didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari
Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun
1506, beliau bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon.Keraton Kasepuhan
dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin
bergelar Panembahan Pakungwati I. Dan sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu
Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung
Jati. Putri itu cantik rupawan berbudi luhur dan bertubuh kokoh serta dapat
mendampingi suami, baik dalam bidang Islamiyah, pembina negara maupun sebagai
pengayom yang menyayangi rakyatnya.
Ahkirnya beliau pada
tahun 1549 wafat dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua,
dari pengorbanan tersebut akhirnya nama beliau diabadikan dan dimulyakan oleh
nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang
sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
B. Tujuan Penulis
1. Untuk memnuhi tugas
Ujian Akhir Semester (UAS) pada Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
2. Untuk mengetahui
Sejarah Keraton Kasepuhan.
3. Untuk mengetahui
manfaat atau kegunaan dari peninggalan-peninggalan pada zaman kerajaan-kerajaan
yang berada di Cirebon Jawa Barat.
C. Pokok Masalah
Bagaimana sejarah berdirinya kraton
kesepuhan ?
Apa keistimewaan dari kraton kesepuhan
dan Adakah akulturasi yang terjadi dari
kebudayaan lain ?
Arsitetur dan interior kraton kesepuhan ?
apa saja koleksi-koleksi yang ada di kraton
kesepuhan?
D. Pokok Pembahasan
Pangeran Sri Mangana Cakrabuana, putra
Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran Bogor, tercatat sebagai pendiri
Keraton Pakungwati sekitar tahun 1480 M. Kedudukannya sebagai putra mahkota dan
tumenggung di Cirebon tak membuatnya ragu untuk memisahkan diri dari Kerajaan
Padjajaran. Keputusan tersebut diambil agar beliau lebih leluasa mengembangkan
agama Islam dan sekaligus terbebas dari pengaruh agama Hindu, agama resmi
Kerajaan Padjajaran.
Nama Pakungwati diambil dari nama Ratu Ayu
Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana sendiri. Kelak, Ratu Ayu Pakungwati
menikah dengan Syarif Hidayatullah, atau yang lebih populer dengan nama Sunan
Gunung Djati. Setelah Pangeran Cakrabuana mangkat, Sunan Gunung Djati naik
tahta pada tahun 1483 M. Selain sebagai seorang pemimpin yang disegani, Sunan
Gunung Djati juga dikenal sebagai seorang ulama terkemuka di Cirebon.
Pada tahun 1568 M Sunan Gunung Djati wafat.
Kemudian, posisinya digantikan oleh cucunya, Pangeran Emas yang bergelar
Panembahan Ratu. Pada masa Pangeran Emas inilah dibangun keraton baru di
sebelah barat Dalem Agung yang diberi nama Keraton Pakungwati. Sejak tahun 1697
M, Keraton Pakungwati lebih dikenal dengan nama Keraton Kasepuhan dan sultannya
bergelar Sultan Sepuh.
Pada tahun 1988, untuk menjaga dan
melindungi keaslian keraton, terutama koleksi benda-benda kuno peninggalan
Kesultanan Cirebon, dua ruangan yang berada di bagian depan Keraton Kasepuhan
dijadikan museum yang dapat dikunjungi oleh masyarakat luas.
Mengunjungi Keraton Kasepuhan seakan-akan
mengunjungi Kota Cirebon tempo dulu. Keberadaan Keraton Kasepuhan juga kian
mengukuhkan bahwa di kota Cirebon pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang
terjadi tidak saja antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, tapi juga
dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti Cina,India, Arab, dan Eropa. Hal
inilah yang membentuk identitas dan tipikal masyarakat Cirebon dewasa ini, yang
bukan Jawa dan bukan Sunda.
Kesan tersebut sudah terasa sedari awal
memasuki lokasi keraton. Keberadaan dua patung macan putih di gerbangnya,
selain melambangkan bahwa Kesultanan Cirebon merupakan penerus Kerajaan
Padjajaran, juga memperlihatkan pengaruh agama Hindu sebagai agama resmi
Kerajaan Padjajaran. Gerbangnya yang menyerupai pura di Bali, ukiran daun pintu
gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti Hingilnya dari keramik Cina, dan
tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa,
merupakan bukti lain terjadinya akulturasi.
Apabila kita perhatikan ruang luar kraton
kasepuhan, kita bisa melihat bagaimana perpabuan unsur-unsur Eropa seperti
meriam dan patung singa di halaman muka, furniter dan meja kaca gaya Prancis
tempat para tamu sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang ukiran Bali dan
pintu kayu model ukiran Prancis yang menampakan gambaran kosmpolitan kraton
kasepuhan sekarang. Arsitektur dan koleksi benda-benda milik Katon Kasepuhan
yang tersimpan dalam museum kraton dengan demikian memberikan sebuah gambaran
tentang sifat kosmopolitan keraton pada masa kejayaan kesultanan Cirebon pada
abad ke-15 dan ke-16.
Seperti juga penguasa-penguasa Nusantara
lainnya (seperti Kasunanan Solo), terdapat kesan bagi para penguasa untuk
mengadopsi kehidupan dunia luar dalam kehidupan penguasa lokal ini. Sebagai
salah satu contohnya adalah kegemaran kesultanan Cirebon mengadopsi gaya dan
arsitektur model Eropa yang mengisi bagian dalam Kraton Kasepuhan. Perhatikan
bagaimana model dan ukiran di ruang pertemuan sultan dengan para menteri
(bangsal Prabhayaksa) yang dibuat dengan model yang hampir sama dalam interior
kerajaan Prancis di bawah dinasti Bourbon, seperti model kursi, meja dan lampu
gantung. Bagaimanapun terdapat kombinasi gaya interior ini apabila kita
memperhatikan sembilan kain berwarna di latar belakang singgasana raja yang
melambangkan sosok wali songo (para penyebar agama Islam di Jawa). Di sini
tradisi Jawa bercampur dengan Eropa yang telah 'dilokalkan'.
koleksi alat-alat musik degung milik kraton
kasepuhan yang merupakan hadiah dari sultan Banten yang menunjukkan hubungan
penguasa Cirebon dengan penguasa Banten saat itu yang sama-sama didirikan pada
masa kejayaan penguasa-penguasa Islam di Jawa. Di dalam deretan perlengkapan
alat musik tersebut, terdapat alat musik rebana peninggalan sunan Kalijaga. Di
sini kita bisa melihat percampuran antara tradisi Arab dan Jawa berpadu dalam
proses penyebaran agama Islam di Jawa pada masa itu.
Di dalam koleksi museum kraton kasepuhan
lain yang menarik adalah kereta kuda, meriam portugis, tandu permaisuri dan
relief kayu yang menggambarkan persenggamaan antara laki-laki dan perempuan
yang melambangkan kesuburan. Dalam kaitan ini, kita bisa melihat bagaimana
pengaruh tradisi Hindu-Budha dalam sejarah pra-kolonial Jawa masih bertahan di
dalam era kekuasaan raja-raja Islam di Jawa. Meriam portugis yang menjadi
bagian koleksi museum kraton kasepuhan juga menunjukkan bagaimana hubungan
sultan Cirebon tersebut dengan kekuatan maritim Eropa yang mulai merambah jalur
perdagangan rempah-rempah di Nusantara pada abad 16 dan
Koleksi penting lainnya dalam museum kraton
kasepuhan adalah apa yang dikenal sekarang sebagai topeng Cirebon. Topeng ini adalah
koleksi yang berasal dari periode Sunan Gunung Jati ini mewakili sebuah cerita
tentang bagaimana seni lokal digunakan sebagai alat penyebaran agama Islam di
wilayah Jawa Barat, yang dapat dibandingkan dengan penggunaan medium wayang
oleh Sunan Kalijaga di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
E.
KESIMPULAN
Potret Kosmopolitan
Penguasa Pesisir Cirebon Jawa Barat
Kesultanan Cirebon
(menjadi Kraton Kasepuhan setelah perpecahannya pada tahun 1677, dan
terbentuknya Kraton Kanoman) adalah sebuah kesultanan Islam di wilayah Jawa
Barat yang berdiri pada abad 15 dan 16. Lokasinya yang terletak dalam jalur
perdagangan penting antar pulau dalam abad merkantilisme pada saat itu
memberikan gambaran tentang kosmopolitanisme penguasa Cirebon yang memadukan
berbagai pengaruh peradaban besar seperti Cina, India, Eropa dan juga
penguasa-penguasa Nusantara.
Arsitektur &
Interior
Apabila kita perhatikan
ruang luar kraton kasepuhan, kita bisa melihat bagaimana perpabuan unsur-unsur
Eropa seperti meriam dan patung singa di halaman muka, furniter dan meja kaca
gaya Prancis tempat para tamu sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang ukiran
Bali dan pintu kayu model ukiran Prancis yang menampakan gambaran kosmpolitan
kraton kasepuhan sekarang. Arsitektur dan koleksi benda-benda milik Katon
Kasepuhan yang tersimpan dalam museum kraton dengan demikian memberikan sebuah
gambaran tentang sifat kosmopolitan keraton pada masa kejayaan kesultanan
Cirebon pada abad ke-15 dan ke-16.
Posting Komentar